Klinik Motivasi

Selasa, Juli 14, 2009

Mengapa Harus Demokratis, AS Saja Tidak Kok ?

Di tengah2 maraknya aksi penolakan atas kedatangan bush, ada y ang aneh, ternyata rizal malarangeng malah dengan sangat percaya diri mengatakan bahwa AS adalah negara sahabat. Dia bahkan berusaha keras agar AS tidak dicap sebagai negara yang memusuhi ummat islam, padahal, di irak saja AS sudah merenggut lebih dari 600.000 nyawa.


Ketika kita melakukan kilas balik peristiwa2 di masa lalu, kita pun menemukan keanehan, ketika orang2 mempermasalahkan penyerahan operasional blok cepu kepada perusahaan AS, Exon mobile, Rizal malarangeng (yg waktu itu ditunjuk sebagai juru runding dari pihak indonesia) mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa kita telah menang besar! Karena Exon hanya mendapatkan 6,4% dari total keuntungan yang diperoleh dari exploitasi minyak di blok Cepu. Hehe… padahal siapapun yang pernah belajar ekonomi, hampir bisa dipastikan akan mengetahui bahwa pihak pengelola selalu bisa merekayasa laporan keuangan (contoh sederhana; dengan cara menggembungkan beban, dll), dengan demikian maka keuntungan yang dilaporkan bisa menjadi jauh lebih kecil dari yang sesungguhnya. apalagi ternyata di atas kertas memang exon ah yang berhak membuat klaim biaya explorasi. Exon memang akan mendapatkan pembagian keuntungan yang jauh lebih kecil daripada pihak indonesia, tapi dia sudah mendapat keuntungan yang besar dari me-mark up biaya explorasi dll. Orang yang setuju dengan penyerahan operasional blok Cepu kepada exon mungkin akan berkata: lho, bukankah ada dewan pengawas dari pihak pemerintah pusat dan daerah yang akan mengawasi exon. Tapi, hehe…kayak ga tau ajah, di indonesia kan gudangnya tikus?! Kalo dah kenyang ya...diem…

Masih dengan kilas balik, kita pun akan menemukan keanehan, ketika ummat islam dibuat panas oleh ulil absor abdala, siapa sih yang ga bisa disuap untuk bungkam?!.

Yah.. begitulah seorang Rizal Malarangeng. Well, you may think that he must be stupid or something. Tapi yang paling penting, kayaknya sih kita kudu terus waspada, karena yang jadi piaraan kapitalis tuh ga Cuma dia.

Tapi, Seorang duta besar sebuah negara Eropa, yang baru ditugaskan di Indonesia, terlibat diskusi soal demokrasi. Sang duta besar itu spontan memberikan komentarnya. "(Negara) kami lelah menghadapi demokrasi," katanya.Di pertengahan 1940-an, Inggris memerdekakan dua negara jajahannya. Meski keduanya tetap berada dalam payung persemakmuran (commonwealth), kedua negara menerapkan paham pemerintahan yang berbeda. Salah satunya langsung menegaskan memilih sistem pemerintahan yang demokratis. Sementara yang lain, tidak. Hasilnya, kini setelah lebih dari 60 tahun, negara kedua ternyata lebih maju dan makmur dibanding negara pertama. Sedang negara pertama disibukkan dengan perselisihan dalam negeri sehingga tidak sempat memajukan negerinya.

Dengan dalih demokrasi, setiap orang merasa memiliki hak untuk berbicara, mengeluarkan pendapat, dan berlaku apa saja. Akibatnya, berbagai perbedaan pendapat berkembang menjadi perselisihan, karena masing-masing merasa memiliki hak untuk mempertahankan pendapatnya. Negara kedua tersebut adalah Malaysia. Sementara negeri pertama, karena masih terbelakang, namanya nyaris tidak dikenal di dunia. Maaf, nama negaranya juga nyaris terlupakan.
Dari dua hal di atas yang bisa diambil pelajaran adalah bahwa demokrasi adalah sebuah proses belajar, yang butuh waktu, butuh kesiapan dan kedewasaan, dan seringkali proses tersebut berharga mahal. Mengutip pernyataan spontan duta besar tadi, "Demokrasi memang Melelahkan".

Amerika Serikat (AS) saja, yang disebut-sebut sebagai negara paling "demokratis" perlu waktu puluhan atau bahkan mungkin ratusan tahun untuk menjadi negara "demokratis" seperti saat ini. Selama proses tersebut, AS belasan kali mengamandemen Undang-Undangnya. Itu pun ternyata negeri, yang selalu menggembar-gemborkan demokrasi dan mendorong (seringkali juga memaksa) negeri-negeri lain di dunia untuk menerapkan demokrasi, ternyata belum benar-benar demokratis (karena itulah kata demokratis di atas ditulis di dalam tanda petik ("))
.
Dalam pemilihan presidennya, misalnya, Indonesia justru lebih demokratis dibanding AS. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono adalah benar-benar pilihan rakyat, karena perhitungan kemenangannya benar-benar didasarkan pada berapa banyak rakyat Indonesia yang memilihnya. Sementara AS tidak. Andai AS menerapkan sistem seperti di Indonesia, sangat mungkin yang menang dalam pemilihan presiden kemarin adalah John Kerry dari Partai Demokrat. Bukan George W. Bush dari Partai Republik.

Saat coblosan, rakyat AS sebenarnya tidak memilih presiden. Melainkan memilih siapa yang akan menjadi anggota electoral college, lembaga yang nantinya akan memilih presiden. Untuk menentukan wakilnya di electoral college, juga tidak ditentukan secara proporsional berapa suara yang diperlukan agar seorang calon bisa menjadi wakil di lembaga itu. Melainkan sistem distrik sapu bersih.

Jelasnya, jika di sebuah negara bagian, sebuah partai unggul perolehan suara, maka seluruh jatah anggota electoral college negara bagian tersebut menjadi hak partai tadi. Tidak peduli, kemenangan itu sangat tipis, hanya beda satu suara saja. Dengan cara itu, ketika perbedaan perolehan suara di sebuah negara bagian sangat kecil, akan banyak warga negara bagian itu yang harus rela kehilangan hak suara dalam memilih presiden. Mereka yang kalah itu tidak memiliki wakil di electoral college, setelah seluruh jatah kursi negara bagian itu di electoral college disapu bersih wakil partai yang menang. Dari sisi ini, pemilihan presiden Indonesia ternyata lebih demokratis, karena suara rakyat yang benar-benar langsung menentukan. Tidak melalui perwakilan seperti di AS, yang ternyata juga tidak benar-benar mewakili suara rakyat.

Dalam kehidupan bermasyarakat di dunia internasional pun, sikap demokratis AS perlu dipertanyakan. Kalau negeri itu benar-benar demokratis, seharusnya serangan militer ke Iraq tidak akan terjadi. Di saat suara terbanyak di PBB tidak menghendaki serangan tersebut. Namun AS ngotot melakukannya meski dukungannya sangat kecil.

Seorang demokrat seharusnya paham betul arti menghargai pendapat orang lain. Dan ketika sampai pada titik tidak bisa ditemukannya kesepakatan di antara pihak yang berbeda pendapat, maka suara terbanyak yang harus dihormati. AS ternyata mengabaikan hal itu. Kesimpulannya, setelah ratusan tahun belajar menerapkan demokrasi dan setelah belasan kali meng-amandemen UU, AS juga belum demokratis. Jadi, mengapa harus menggembor-gemborkan demokrasi - dan mendorong (tidak jarang juga memaksa) - negeri lain demokratis, kalau negerinya sendiri belum.
Mengapa harus terpengaruh untuk berdemokrasi, kalau AS saja ternyata tidak demokratis?
)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar