Klinik Motivasi

Jumat, September 18, 2009

Hari Raya Idul Fitri 1430 H : Pilih Minggu Atau Senin ??

Dalam hitungan hari bulan Ramadhan akan segera berakhir dan digantikan dengan kehadiran bulan Syawal. Banyak pihak berharap agar umat Islam di negeri ini bisa mengakhiri bulan Ramadhan pada hari yang sama, sebagaimana kebersaman ketika mengawali puasa di Ramadhan tahun ini.


Kalender 2009 menunjukkan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari minggu tanggal 20 September 2009, hal yang sama juga dinyatakan secara resmi oleh PP Muhammadiyah berdasarkan Metode Hisab (perhitungan berdasarkan ilmu astronomi/ilmu falak) dalam penentuan 1 Syawal.

Sementara NU belum menyatakan secara resmi kapan 1 Syawal, karena masih menunggu hasil pengamatan bulan (Ru’yatul Hilal) yang dilakukan pada saat matahari terbenam hari sabtu ini (19 September 2009), sementara pemerintah akan menyampaikan secara resmi 1 Syawal berdasarkan sidang istbat yang dilakukan pada sabtu malam.

Bila 1 Syawal 1430 jatuh pada hari minggu berarti di Ramadhan kali ini kita berpuasa selama 29 hari, bila 1 Syawal hari senin berarti kita berpuasa selama 30 hari. Walaupun pihak NU dan Pemerintah belum menyatakan secara resmi namun beberapa tokoh dari kalangan NU dan Pemerintah memprediksi 1 Syawal jatuh pada hari Minggu, karena saat itu tinggi hilal diperkirakan 5-8 derajat sehingga dapat dikategorikan sebagai Imkanur Rukyat.

Tak bisa dipungkiri bahwa selama beberapa tahun terakhir ini penentuan awal dan akhir Ramadhan sering terjadi perbedan, baik antara NU, Muhammadiyah, termasuk ormas lain seperti Persis, HTI, dll. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan menggunakan metode dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Muhammadiyah menggunakan metode Hisab (Perhitungan) sebagaimana dalam menentukan waktu shalat, sementara NU menggunakan metode ru’yatul hilal (lokal) dan Hizbut Tahrir menggunakan metode ru’yatul internasional (bila ada salah satu wilayah islami telah melihat Bulan (Hilal) dengan kesaksian seorang yang adil maka seluruh umat Islam di Dunia wajib mengawali atau mengakhiri Ramadhan). Mereka yang menggunakan metode Ru’yatul Hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan bersandar pada beberapa hadits Rasululullah, diantaranya : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (Hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.).

Penentuan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan metode Ru’yatul Hilal dibenarkan oleh ulama 4 madzab (Syafi’I, Hanafi, Ahmad, Maliki dan Ulama lainnya). Hanya saja dalam penentuan Mathla (tempat lahirnya bulan) 3 Imam Madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) sepakat bahwa bila salah satu negeri muslim telah melihat hilal maka negeri islam lainnya wajib berpuasa/berhari raya, sementara madzhab syafi’I menyatakan bila hilal telah terlihat maka penduduk yang dekat dengan daerah itu wajib berpuasa/berhari raya. Ukuran kedekatan daerah dihitung berdasarkan kesaman Mathla, yakni 24 Farsakh, sementara penduduk yang jauh tidak diwajibkan mengikuti ru’yat ini (al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550).

Sementara bagi pengikut metode Hisab seperti Muhammadiyah, dll berargumentasi dengan penggunaan metode hisab melalui ilmu falak/astronomi dalam menentukan 1 Syawal. Perbedaan metode tersebut memang tidak bisa dihindari, hal ini berkaitan dengan perbedaan dalam memahami nash fikih yang melatarbelakangi petunjuk penentuan awal dan akhir Ramadhan, disisi lain perkembangan ilmpu pengetahuan (ilmu astronomi) semakin mempermudah manusia untuk menentukan secara meyakinkan terkait posisi bulan, namun di satu sisi sebagian ulama berpendapat bahwa penentuan awal Ramadhan berdasarkan hadits Rasulullah diatas dilakukan dengan melihat hilal secara langsung (mata telanjang) sementara alat bantu seperti teropong dan penghitungan (hisab) hanyalah cara untuk memperkuat pembuktian saja. Sedangkan untuk perkara Shalat memang tidak perlu harus melihat bulan karena dengan kemajuan ilmu astronomi /ilmu falak dapat diketahui kapan masuk dan berakhirnya waktu shalat sesuai waktunya.

Semoga perbedaan ini tidak memperuncing keadaan dan berujung pada perpecahan. Hendaknya para ulama yang menjadi simpul umat mampu menjadi pemersatu umat dalam memberikan pemahaman agama yang benar sesuai Hukum Syara’ kepada umat terkait penentuan awal dan akhir Ramadhan, dan hendaknya ulama yang berbeda pandangan tetap bersandar pada prinsif ulama terdahulu dalam berpendapat : “pendapat saya benar bisa jadi mengandung kesalahan, pendapat anda salah bisa jadi mengandung kebenaran”.

Tak bisa dipungkiri bahwa perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan merupakan dampak dari terpecahbelahnya kaum muslimin dalam banyak Negara (nation state), Jaman Rasulullah dan para Khalifah setelahnya mereka memiliki kesamaan dalam menentukan hal tersebut karena mereka memahami bahwa tugas pemimpin Islam adalah pemutus segala perbedaan dan bertindak sesuai perintah Allah SWT dan Rasul_Nya. Kita berharap semoga kepemimpinan Islami demikian segera terwujud. Dan semoga anda bijaksana dalam menentukan sikap untuk berhari raya, ikutilah pendapat yang benar sesuai Hukum Syara’. Silahkan memilih apakah ikut hari Minggu atau Senin (bila langit mendung dan bulan tidak nampak nantinya) ! dan semoga kita bisa menghormati bila nantinya perbedaan kembali terjadi!

Penulis : Wahyudin Noor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar