Klinik Motivasi

Sabtu, Oktober 23, 2010

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Kesehatan

Menurut Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D dalam bukunya "Komunikasi Lintas Budaya" yang terbit bulan Mei 2010, komunikasi kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai, komunikasi Verbal dan Non Verbal.

Kepercayaan

Penduduk di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang terbiasa meminum air mentah mempercayai bahwa air matang tidak enak. Penyuluh kesehatan di sana menganggap kepercayaan tersebut sebagai kendala yang harus diatasi. Karena kebiasaan meminum air mentah dapat menimbulkan penyakit diare yang mematikan (suartika, 2000). Kepercayaan ini mirip dengan kepercayaan suatu komunitas di Los Molinas, Peru yang tidak mau meminum air matang. Mereka menganggap air matang hanya layak untuk orang sakit. Warga desa tersebut memercayai air matang telah kehilangan kekuatan atau sarinya bagi kehidupan manusia, sehingga dapat membuat orang sehat menjadi loyo. (Rogers, 1995 : 1-5)


Nilai

Dalam masyarakat Timur yang kolektivis komunikasi lebih rumit daripada dalam masyarakat barat yang individualis. Untuk menjaga hubugan serasi dengan orang lain, orang kolektivis cenderung berbasa-basi. Kalau perlu berbohong untuk menyenangkan orang lain. Contohnya ketika seorang perawat Filipina di AS yang diminta dokter Amerika untuk memberi obat kepada pasien. Meski perawat sadar bahwa dokter telah memberi resep yang salah dan akan merugikan pasien, ia terpaksa mengikuti pesan dokter tanpa membantahnya. (Brislin dan Yoshida, 1994 : 53)

Komunikasi verbal

Bahasaa sifatnya relatif. Kata-kata tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan kecermatan yang sama. Perbedaan pemahaman atas kata-kata akan lebih rumit lagi jika orang-orang menggunakan bahasa ibu yang berbeda. Misalnya, penyakit masuk angin yang dikenal di Indonesia tidak dikenal di Barat. Begitu juga cara pengobatannya dengan mengerok badan dengan uang logam. Suatu anekdot melukiskan : seorang eksekutif Indonesia yang terbang ke luar negeri yang badannya merah2 setelah dikerok dilepaskan oleh kelompok teroris bule yang menyangka bahwa dia menderita penyakit menular.

Komunikasi non verbal

Di Indonesia, menganggukkan kepala tidak selalu berarti ya dan menggelengkan kepala tidak selalu berarti tidak. Dokter Indonesia harus kritis menafsirkan pesan pasien yang samar ini. Misalnya, jika dokter mengharapkan pasien untuk kembali menemuinya minggu depan, setelah dokter memberi obat, anggukan kepala pasien tidak otomatis berarti persetujuan. Pasien mengangguk, namun bisa jadi ia tidak berniat untuk kembali menemui dokter. Padahal konsultasi selanjutnya penting bagi kesehatan pasien.

Aspek sentuhan juga penting. Riset dalam komunikasi kesehatan menunjukkan kebutuhan pasien akan sentuhan tidak dipenuhi oleh profesional medis (Kreps dan Thornton, 1992:33). Pijitan dan sentuhan oleh dokter dan perawat menghasilkan efek positif pada pasien yang dirawat di RS (Knapp dan hall, 2002:273). Namun tentunya, profesional medis juga perlu memperhatikan bentuk, frekuensi, lokasi sentuhan, jenis kelamin, budaya, dan agama pasien agar pasien merasa nyaman dengan sentuhan tersebut.

Isyarat tangan pun dapat menjadi sumber masalah. Seorang profesional medis yang memanggil pasien dewasa di Ethiopia atau di Afrika Timur dengan telunjuk telah melakukan kesalahan besar. Karena di negara itu, isyarat tersebut hanya digunakan untuk memanggil anak-anak atau anjing.

Penataan ruangpun perlu juga diperhatikan. Dokter Abraham White melakukan eksperimen informal untuk mengetahui apakah meja yang membatasi dokter dan pasiennya mempengaruhi konsultasi mereka. Dokter tersebut menemukan, bila meja pembatas itu ditiadakan, 55,4 % dari jumlah pasiennya duduk santai. Bila meja itu ditempatnya, hanya 10,8% dari jumlah pasiennya yang duduk santai. (Rich, 1974:168). (Dini)

2 komentar: